Selamat Datang Keluarga Besar Pemuda Gowak

Senin, 08 Juni 2009

UNDANG-UNDANG KEPEMUDAAN

Setelah sukses menghasilkan Undang-Undang (UU) tentang Keolahragaan, kini Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepemudaan. Sekarang RUU Kepemudaan sedang memasuki tahap konsultasi publik yang dilakukan oleh Kantor Menpora di berbagai kota di Indonesia.
Pengertian pemuda sebagai orang yang berusia antara 18-35 tahun sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 2 RUU ini, akan memancing polemik. Sebab, sekarang ini banyak organisasi pemuda, termasuk KNPI, dalam statusanya mensyaratkan usia pemuda hingga 40 tahun. Perbedaan kategori usia pemuda sebagaimana termaktub di dalam RUU ini sepertinya bawaan dari Direktorat Kepemudaan, Depdiknas. Versi Depdiknas, batas usia pemuda sampai dengan 35 tahun, sehingga hal ini memiliki efek kepada tidak akurnya antara Depdiknas dengan KNPI, utamanya dalam persoalan anggaran pembinaan kepemudaan. Imbasnya, antara lain seperti tidak diikutkannya KNPI sebagai sasaran program kepemudaan dari Depdiknas. Realitas itulah yang memunculkan opini agar dihidupkan kembali kantor Menpora, seperti yang sudah terealisasi saat ini pada era pemerintahan SBY-JK.
Secara kelembagaan, setidaknya ada tiga organisasi kepemudaan. Pertama, organisasi kepemudaan yang berada dalam organisasi politik, seperti Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) dan Barisan Muda (BM) Partai Amanat Nasional. Kedua, organisasi kepemudaan yang bernaung di bawah organisasi massa (ormas), misalnya Gerakan Pemuda (GP) Anshor di bawah NU dan Pemuda Muhammadiyah di bawah Muhammadiyah. Ketiga, organisasi kepemudaan yang bersifat independen dari organisasi mana pun, seperti organisasi mahasiswa. Meski banyak LSM digerakkan oleh kaum muda, tetapi LSM tidak dikategorikan sebagai organisasi kepemudaan karena sifat dan fungsinya yang berbeda.
Kategori pemuda dalam organisasi politik sepertinya tidak dibatasi oleh usia seseorang untuk bergabung. Karena kenyataannya banyak organisasi pemuda dalam organisasi politik usianya sudah melebih usia 35 tahun, bahkan banyak yang lebih dari 40 tahun. Tentunya dapat dimaklumi bila organisasi pemuda partai politik menerapkan kategori usia pemuda relatif longgar, karena logikanya adalah logika kekuasaan.
Kritik lainnya terhadap RUU Kepemudaan adalah dikembangkannya konsep yang terasa masih asing, yakni konsep "pembangunan dan pengembangan kepemudaan". Dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 3, yang dimaksud dengan konsep itu adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka pemberdayaan, pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan pemuda secara terencana, terpadu, terarah dan berkelanjutan. Konsep ini disebutkan pada beberapa pasal berikutnya, yakni Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 27 Ayat (1), Pasal 29, Pasal 30, Pasal 38 Ayat (1), dan Pasal 39.
Konsekuensinya, pemuda akan selalu menjadi objek, dan bukan subjek pembangunan. Keberadaan pemuda akan selalu dijadikan projek oleh kalangan tertentu, baik oleh sesama pemuda itu sendiri atau para pemimpin politik dan birokrasi. Sementara konsep yang selayaknya diadopsi dalam UU Kepemudaan adalah tentang kepeloporan pemuda dan kemandirian pemuda sebagai tahap proses, sementara konsep makronya adalah konsep pemberdayaan pemuda.
Bila mencermati substansi RUU Kepemudaan itu, terlihat semangat patrimonial masih kental di dalamnya. Patrimonialisme terkandung dalam melihat hubungan negara dengan pemuda. Negara dipersepsikan seakan-akan menjadi "bapak", sementara di lain pihak pemuda dianggap sebagai anak. Hal ini akan melanggengkan hubungan patron-klien, dan menjauhkan pemuda dalam semangat kemandirian.
Kemandirian pemuda memang selalu menjadi isu krusial karena menyangkut persoalan anggaran pemuda, baik dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dalam RUU Kepemudaan, persoalan anggaran kepemudaan diatur dalam pasal 38 dan 39. Dalam RUU tersebut, sumber anggaran kepemudaan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat, sera sumber lain yang tidak disebutkan. Selama ini anggaran kepemudaan yang sebelumnya dikelola Depdiknas melalui Direktorat Kepemudaan hanya habis untuk pelatihan-pelatihan kepemudaan tanpa ada evaluasi yang ketat terhadap output dari pelatihan tersebut. Program yang lebih inovatif dari direktorat tersebut hanya program life skill dengan memberikan bekal kepada pemuda yang memiliki usaha produktif untuk didorong menjadi pemuda mandiri. Namun dalam pelaksanaannya, meski tidak terekspose, skim dari program tersebut tak luput dari praktik korupsi kecil-kecilan berupa pemotongan anggaran.
Dalam perspektif gender, UU Kepemudaan berkonotasi "pemuda" atau identik dengan pria. Tak heran bila organisasi kepemudaan lebih didominasi kaum pria. Sejak KNPI berdiri pada dekade awal 1970-an, tak pernah sekalipun pucuk pimpinannya di tingkat pusat diduduki seorang perempuan. Kita tahu, perempuan secara kapasitas tidak kalah jauh dari kaum pria sehingga prinsip ekualitas antara pria dengan perempuan selayaknya dimulai dari tingkat kebijakan publik, termasuk kebijakan kepemudaan.
Keberadaan UU Kepemudaan seyogianya dapat pula dijadikan sebagai kebijakan publik yang dapat menstimulasi bangkitnya partisipasi politik perempuan. RUU ini harus bisa menjadi perangsang bagi pendidikan politik perempuan muda. Untuk jangka panjang, ada kompetisi terbuka dalam berbagai lapangan, sehingga perempuan tidak perlu lagi meminta jatah kuota 30 persen di parlemen atas nama affirmative action. Permintaan kuota tersebut semakin melanggengkan stereotipe ketidakmampuan perempuan untuk bersaing secara sehat dengan kaum pria. RUU Kepemudaan bisa menjadi salah satu entry point pemberdayaan perempuan secara politik. Perempuan Indonesia harus bersatu mengadvokasi RUU Kepemudaan.

1 komentar:

 
Copyright © 2009 Ahsani Taqwim Magelang. All Rights Reserved. | pemudagowak.com